Serial Fikih Muamalah (Bag. 17): Mengenal Khiyar Rukyah dan Pengaruhnya terhadap Akad Jual Beli
[lwptoc]
Khiyar rukyah merupakan syarat yang ditetapkan syariat Islam untuk melindungi konsumen dan pembeli dari kerugian dan penipuan. Lalu, seperti apa hakikat khiyar rukyah ini? Bagaimana para ahli fikih menyikapinya? Apa saja syaratnya? Dan apa pengaruhnya terhadap sebuah akad?
Pada kesempatan kali ini, insyaAllah akan kita bahas lebih mendalam hak khiyar rukyah dari sisi syariat Islam.
Hakikat khiyar rukyah
Khiyar rukyah (pengelihatan) adalah kondisi ketika salah satu pihak yang melangsungkan akad memiliki hak untuk membatalkan ataupun melanjutkan akad saat melihat langsung barang yang diakadkan dikarenakan sebelumnya ia belum melihat secara langsung barang tersebut.
Contohnya adalah ketika seorang penjual menjual sebuah mobil yang belum ada ketika terjadinya akad. Maka, bagi pihak pembeli ada hak khiyar ketika melihat langsung mobil tersebut baik mobil tersebut sudah diberikan deskripsi dan sifatnya terlebih dahulu ataupun belum ditentukan deskripsinya. Pada kedua keadaan ini terdapat hak khiyar rukyah (pengelihatan) bagi pihak pembeli.
Sikap ahli fikih terhadap khiyar rukyah (penglihatan)
Para ahli fikih berbeda pendapat terkait ada atau tidaknya hak khiyar rukyah bagi seseorang yang belum melihat objek akad menjadi dua pendapat.
Pendapat pertama
Mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah, dan pendapat lama Syafi’iyyah, serta Hanabilah dalam salah satu riwayat pendapat mereka berpendapat akan adanya hak khiyar rukyah (penglihatan).
Hal ini berdasarkan beberapa dalil:
Pertama: Apa yang diriwayatkan Ibnu Abi Mulaikah dari sahabat Alqamah bin Waqqas Al-Laisyi radhiyallahu anhu,
أنَّ عثمانَ ابتاع منْ طلحةَ بنِ عُبيدِ اللهِ أرضًا بالمدينةِ ، ناقَلَهُ بأرضٍ له بالكوفةِ ، فلما تبايعا ندِم عثمانُ ثم قال : بايعتُك ما لم أرَهُ ، فقال طلحةُ : إنما النظرُ لي ، إنما ابتعتُ مُغَيَّبًا ، وأما أنتَ فقد رأيتَ ما ابتعتَ ، فجعلا بينَهما حَكَمًا ، فحكَّما جبيرَ بنَ مُطْعِمٍ فقضى على عثمانَ أنَّ البيعَ جائزٌ ، وأنَّ النظرَ لطلحةَ أنه ابتاع مُغَيَّبًا
“Sahabat Utsman radhiyallahu ‘anhu membeli tanah dari sahabat Thalhah yang berlokasi di Madinah dengan cara menukarnya atau barter dengan tanahnya yang berada di Kufah. Maka, sahabat Utsman berkata, “Bagiku hak untuk melihat (barang jualan) karena aku membelinya darimu sedang aku belum melihatnya.” Maka, sahabat Thalhah menjawab, “Seharusnya akulah yang memiliki hak khiyar melihat karena aku membeli sesuatu yang tak terlihat sedang engkau telah melihat barang yang engkau beli.” Maka, keduanya meminta keadilan kepada sahabat Jubair bin Muth’im. Maka, Jubair bin Muth’im memutuskan untuk Utsman bahwa pembeliannya menjadi akad jaiz. Adapun untuk hak khiyar pengelihatan (rukyah), maka diputuskan untuk Thalhah karena dia membeli sesuatu yang belum terlihat.” (HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 5/268)
Hal ini diputuskan dengan keberadaan para sahabat lainnya tanpa ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya, maka itu dianggap sebagai ijma’ (kesepakatan para sahabat).
Kedua: Dalam penetapan hak khiyar rukyah (penglihatan) dan diperbolehkannya akad ini akan mewujudkan kemaslahatan untuk kedua belah pihak. Penjual bisa jadi butuh untuk menjual barangnya yang belum bisa dilihat tersebut dan mengambil pembayarannya. Sedangkan pembeli bisa jadi butuh untuk membeli barang tersebut, maka diperbolehkan bentuk jual beli ini dengan menetapkan adanya hak khiyar rukyah (penglihatan).
Pendapat kedua
Mazhab Syafi’iyyah dalam qaul jadid (pendapat baru) mereka dan Hanabilah dalam salah satu riwayat pendapatnya mengambil pendapat akan tidak adanya khiyar rukyah, dengan alasan tidak bolehnya membuat akad pada sesuatu yang gaib (tidak nampak).
Mereka berdalil dengan,
Pertama: Apa yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau berkata,
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Jangan engkau jual sesuatu yang engkau tidak punya.” (HR. Abu Dawud no. 3503)
Mereka mengartikan makna “tidak punya” dalam hadis ini dengan larangan menjual barang yang belum ada pada saat akad sedang berlangsung.
Kedua: Hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melarang adanya gharar (ketidakpastian sifat) dalam sebuah akad jual beli dan transaksi,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.” (HR. Muslim no. 1513, Abu Dawud no. 3376, dan Tirmidzi no. 1230)
Dan transaksi jual beli pada barang yang belum ada ketika akad serta tidak bisa dilihat oleh pembeli, mengandung sebuah ketidakjelasan sifat (gharar), karena barang tersebut tidak diketahui secara langsung bentuk maupun sifatnya.
Pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah pendapat pertama yang menetapkan adanya hak khiyar rukyah (pengelihatan) pada sebuah transaksi, karena adanya hadis yang menyebutkan akan hal tersebut dan hal ini juga memberikan kemaslahatan lebih pada kedua belah pihak.
Sedangkan hadis yang menyatakan larangan menjual sesuatu yang tidak kita miliki dan tidak kita punyai, maka maksudnya adalah apa yang tidak mampu diperoleh dan diberikan kepada pembeli sehingga menimbulkan ketidakjelasan sifat.
Adapun hadis yang melarang jual beli yang mengandung ketidakjelasan sifat (gharar), maka dijawab bahwa menjual barang dagangan yang belum ada di waktu akad masih mampu untuk diberikan kepada pembeli sehingga tidak mengandung gharar maupun ketidakjelasan yang akan menimbulkan percekcokan di antara kedua belah pihak.
Syarat berlakunya khiyar rukyah (penglihatan)
Pertama: Pihak pembeli benar-benar belum melihat barang yang akan dibelinya ketika akad itu berlangsung. Sedangkan apabila barang yang akan dibelinya itu sudah bisa dilihat dan ada ketika akad sedang berlangsung sehingga ia benar-benar tahu persis akan barangnya, maka tidak ada hak khiyar rukyah lagi baginya.
Perlu diketahui, untuk mewujudkan kesempurnaan pengetahuan akan barang tersebut, maka harus diiringi dengan menyentuh, mencium ataupun merasakan barang tersebut. Hal ini karena sekedar melihat saja tidak cukup untuk mengetahui dengan sempurna barang yang akan dibelinya tersebut.
Kedua: Hendaknya barang yang diakadkan dan belum dilihat oleh pihak pembeli ini merupakan sesuatu yang bisa ditentukan dan dideskripsikan, seperti: tanah, rumah, ataupun kendaraan. Adapun jika barangnya tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa/tidak perlu ditentukan dan dideskripsikan, seperti mata uang, maka tidak ada hak khiyar rukyah
Ketiga: Khiyar ini hanya berlaku bagi pihak konsumen atau pembeli saja (penyewa ataupun yang sehukum dengan mereka) dan tidak berlaku bagi pihak penjual dan pemberi sewa. Jikalau seseorang menjual rumah yang belum pernah ia lihat (karena ia mendapatkannya dari warisan sedang rumah tersebut berada di pelosok misalnya) kepada orang lain yang malah sudah melihatnya, maka tidak ada hak khiyar bagi si penjual.
Hal ini sebagaimana riwayat Ibnu Abi Mulaikah yang telah kita sebutkan di atas, di mana Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu menetapkan bahwa hak khiyar rukyah (penglihatan) hanya berlaku untuk pembeli dan bukan untuk penjual.
Dan juga, seorang pemilik (penjual, penyewa) memiliki kekuasaan penuh terhadap barang yang akan diakadkannya tersebut, maka sudah sepantasnya dia mengetahui terlebih dahulu barang yang akan dijualnya, karena keinginan menjual pun berasal darinya sehingga ia perlu memastikan terlebih dahulu barang tersebut sebelum dijual. Seorang penjual sangat dimungkinkan untuk melihat dan memastikan barang yang akan dijualnya terlebih dahulu, baik melalui dirinya sendiri ataupun melalui orang yang mewakilinya. Jika ia teledor, maka dialah yang bertanggung jawab atas keteledorannya sendiri, sehingga ia tidak memiliki hak khiyar rukyah.
Pengaruh khiyar rukyah pada sebuah akad
Bagi pembeli yang memiliki hak khiyar rukyah ini, maka akad yang dilakukan sebelum ia melihat langsung barang yang ingin dibelinya merupakan akad jaiz dan bukan akad lazim. Pembeli memiliki keleluasaan saat melihat langsung barangnya, apakah ingin melanjutkan akad dan mengambil hak milik barangnya serta berkewajiban membayar harganya, ataukah ia ingin membatalkan akadnya. Kesemuanya itu tanpa perlu menunggu persetujuan dari pihak yang lain (penjual).
Adapun membatalkan akad padahal belum sempat melihat barangnya, maka para ulama berbeda pendapat, apakah hal seperti itu diperbolehkan?
Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat mayoritas ulama, baik itu mazhab Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah, ataupun Syafi’iyyah dalam salah pendapat mereka. Mereka semua berpendapat bahwa membatalkan akad sebelum sempat melihat barangnya itu diperbolehkan. Karena sejatinya akad yang berlangsung ketika itu adalah akad jaiz yang membolehkan adanya faskh (pembatalan akad tanpa adanya sebab) bagi siapa yang memiliki hak khiyar rukyah ini.
Wallahu a’lam bisshawaab
***
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/83630-khiyar-rukyah.html